Minggu, 08 Januari 2012

Kesadaran Gender menuju Masyarakat Islam Madani


Kesadaran  Gender menuju Masyarakat Islam Madani


*Refleksi Bagi Perempuan Indonesia


 “Femme: ose ĂȘtre !” (Hai perempuan, beranilah menjadi diri sendiri!)
Baru kemarin, 8 Maret sebagai hari Perempuan Internasional, dan 21 April sebagai hari Kartini segera tiba. Begitu istimewa kaum perempuan dipandang sebagi salah subjek berpengaruh dalam pembangunan peradaban manusia. Sehingga, di Indonesia saja dalam setahun ada tiga tanggal sebagai hari peringatan bagi perempuan seperti keduanya telah disebutkan di atas, dan ketiga adalah hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember.
Setiap momen itu datang, berbagai bentuk kegiatan pemberdayaan perempuan dilaksanakan. Mirisnya, sekedar kegiatan monumental semata. Dan, kurang konsisten untuk dilaksanakan secara teratur dan bertahap. Yang dituntut para perempuan sebenarnya pada kesetaraan gender itu sendiri. Karena, dengan adat budaya yang diterapkan sekarang menimbulkan bias gender yang memposisikan perempuan menjadi kurang dipertimbangkan atas kemampuan dirinya.
Masih sebagian kecil perempuan yang benar-benar konsisten memperjuangkan haknya tersebut, lebih pada aplikasi teori. Lainnya masih seputar konsepsi dan teoritis semata, bentuknya kajian, kajian, dan kajian. Lalu kapan bergeraknya? Peran yang bisa dipertukarkan antara pria dan perempuan semestinya tidak perlu diperdebatkan, jikalau masyarakat paham akan sensitif gender, dan aturan-aturan diskriminatif terhadap perempuan itu ditanggalkan, minimal dikikis sedikit demi sedikit melalui proses perubahan sosial seperti saat ini menjadi peradaban informasi dan komunikasi.
Allah tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, itu jelas tertuang dalam salah satu ayat suci, yakni  “Allah telah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal” (Qs. Hujurat:13)
Dan, ada perumpamaan yang diduga sebagai sabda Rasulullah yaitu “Tiang agama adalah sholat, sedangkan tiang negara adalah perempuan”. Artinya jelas bahwa perempuan memiliki keistimewaan khusus.
Kembali pada istilah perempuan berasal dari kata Sansekerta ‘empu’ yang memiliki arti orang terhormat, terpandang. Dan memiliki sifat arif bijaksana, berbudi pekerti luhur. Perempuan adalah makhluk Tuhan (manusia) yang diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Dari landasan tersebut dapat dilihat melalui proses panjang sejarah kebangsaan di seluruh dunia, terutama di Indonesia.
Menengok kembali kepeloporan sejarah gerakan perempuan yang dimulai pada permulaan abad ke-20, yaitu permulaan bentuk gerakan secara modern. Karena bentuk gerakan tersebut ditandai oleh tumbuhnya organisasi-organisasi wanita yang diikuti oleh proses perkembangan organisasi-organisasi gerakan kebangsaan Indonesia pada waktu itu. Dengan begitu banyak organisasi wanita menjadi bagian dari kelompok wanita sebagai organisasi kebangsaan.
Dalam konteks Indonesia, sudah dimulai sejak R.A. Kartini mengajak kaumnya untuk bangkit dari kebodohan. Dalam surat-suratnya yang terkumpul dalam satu buku berjudul “Van Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang), melakukan pemberontakan terhadap sistem adat dan sistem tanam paksa yang menyengsarakan rakyat. Selain Kartini tokoh-tokoh pergerakan perempuan lainnya seperti  Raden Dewi Sartika mempelopri gerakan mencerdaskan anak bangsa ditanah sunda, Maria Walanda Maramis (Pelopor Gerakan Wanita di Minahasa, Sulawesi Utara). ia mendirikan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya), dan Nyai Achmad Dahlan (Istri Ki Hajar Dewantoro, aktif di Taman Siswa). Ibu Ahmad Dahlan (Istri pendiri Moehammadijah Haji Ahmad Dahlan, aktif di organisasi wanita dibawah Moehammadijah Aisyah), dan lain-lain. Soewarni Jayasepoetra (Pelopor gerakan wanita di Bandung, Jawa Barat). Mendirikan organisasi wanita Istri Sedar yang bergerak di bidang politik dengan tujuan mencapai Indonesia Merdeka. Maria Oelfah dan Ibu Soenarjo Mangoenpoespito. Pendiri organisasi istri Indonesia dengan tujuan mencapai Indonesia Raya. Begitu pula dg tokoh pejuang kemerdekaan Cut Nyak Din yang sampai tua tetap berjuang dg rencong untuk melawan penjajah.  Nyi Ageng Serang bersama ayah dan kakaknya termasuk pemberontak-pemberontak yang merobek-robek Perjanjian Gianti dan meneruskan perlawanan bersenjata terhadap Belanda di Semarang.
Pada akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 muncul srikandi-srikandi penerus Kartini seperti Siti Fadilah Supari (mantan menteri kesehatan era SBY-Kalla sekaligus seorang dosen dan dokter yang idealis) yang berani mengungkap konspirasi WHO (World Health Organization) dan Amerika Serikat dalam pembuatan senjata dari virus. Kemudian, Rieke Diah Pitaloka (anggota DPR-RI 2009-2014, aktivis perempuan sekaligus seniman) yang masih “hobi” turun ke lapangan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat terutama perempuan. Martha Tilaar, sosok pengusaha kosmetik alami khas kecantikan perempuan timur.  Karlina, Sang Guru Anak-anak Orang Rimba yang memilih ingin mengabdikan kemampuannya untuk anak Orang Rimba di hutan Jambi, suatu kelompok masyarakat pedalaman di Kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) nan jauh dari hingar bingarnya hidup di perkotaan. Nunuk Murtiati yang notabene adalah aktivis feminisme di Indonesia yang telah menerbitkan buku-buku berbau gender dan feminisme.
Dari tokoh-tokoh perempuan di atas, merekalah para ibu bangsa yang selalu mencerdaskan anak bangsa, bisa menjadi teladan bahkan cermin bagi kita (perempuan) untuk meningkatkan kualitas diri dan bangsa. Untuk berkiprah lebih jauh dalam kehidupan sosial kemasyarakatan menuntut lahirnya organisasi perempuan, maka lahirlah KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) sebagai induk dan wadah bagi organisasi keperempuanan di Indonesia, seperti Kartini Fonds (Semarang), Putri Merdika (Jakarta), Wanita Roekoen Sentosa (Malang), Majoe Kemoeliaan (Bandung), Boedi Wanita (Solo), Kerajinan Amal Setia (Koto Gadang, Sumatera Barat), Serikat Kaum Ibu Sumatera (Bukittinggi, Sumatera Barat), Ina Tuni (Ambon, Maluku), Gorontalosche Mohammedaansche Vrouwen Vereniging (Sulawesi Utara), KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), dan lain-lain. Melalui organisasi perempuan, maka terbangunlah paradigma tentang isu-isu tentang keperempuanan seperti; kesetaraan gender.
Egalitarianisme yang bertumpu pada asas persamaan dan kesetaraan merupakan salah satu pilar pembangunan masyarakat madani. Di antara problem yang menghambat terwujudnya masyarakat yang egaliter adalah terjadinya ketidakadilan gender. Sampai sekarang, ketidakadilan gender merupakan masalah internasional yang belum terselesaikan.
Paradigma lama mengungkapkan bahwa perempuan sebagai puteri, istri, ibu, dan anggota masyarakat  (perempuan yang sarjana, sarjana yg perempuan). Sedangkan, adanya transformasi yang akhirnya muncul paradigma baru terhadap perempuan yang terangkum dalam istilah “Sensitif Gender”. Menurut paradigma baru yang “sensitif gender” memandang perempuan lebih pada kemampuan diri bukan atas “siapa dia?” akan tetapi perempuan adalah sosok yang mandiri, professional, muslimah, dan intelektual.
Perempuan dapat mandiri dengan bekerja sendiri, profesional dalam melakukan segala hal segi struktural maupun tidak,kemudian memiliki identitas sebagai seorang muslimah (jika islam) yang mana segala tingkah lakunya bernafaskan nilai-nilai keislaman, dan intelektual (berwawasan luas).
Dengan berubahnya paradigma tentang perempuan, maka ruang publik (sosial) tidak lagi menjadi domainnya laki-laki, tetapi perempuan juga memiliki peluang, akses dan kemampuan yang sama. Dimensi kehidupan sosial kemasyarakatan seperti pendidikan, dunia usaha, birokrasi bahkan politik semakin diwarnai oleh kaum perempuan. Hal ini mempertegas bahwa transformasi sosial bagi perempuan sudah tidak bisa dibantah.
Menurut Prof Dr Sri Suhandjati Sukri, dengan terciptanya kesetaraan gender merupakan modal bagi terbangunnya masyarakat egaliter,yang menjadi pilar terbentuknya masyarakat madani. Egalitarianisme akan sulit terwujud dan hanya menjadi slogan jika kesetaraan antar dua jenis kelamin saja masih dalam persoalan.
Dulu formulasi gerakan perempuan adalah emansipasi perempuan yang dipelopori oleh Kartini (Indonesia), maka pada saat era informasi seperti sekarang diperlukan adanya reformulasi gerakan perempuan yang efektif untuk menjawab permasalahan-permasalahan keperempuanan yang belum mampu terjawab pada formula sebelumnya. Misalnya, reformulasi yang digunakan saat ini berlandaskan sensitif gender, maka perempuan berlomba untuk mencerdaskan diri sendiri dulu dengan mendapatkan pendidikan yang layak, misalnya juga mendapatkan kursus tentang pengetahuan ke-Islam-an bagi pekerja dan pegawai perempuan,dan pembinaan kehidupan beragama dalam keluarga maupun sekolah, sehingga dapat mendidik anak melalui internalisasi nilai-nilai keislaman yang anti kekerasan. Kemudian, berperilaku sesuai kodrat perempuan, beraktualisasi diri sesuai bakat dan minat melalui jalur profesi, dan lain-lain. Jikalau sang suami (apabila telah punya) tidak mengijinkan istri beraktualisasi diri di luar rumah (arti: bekerja), maka istri bisa bekerja di dalam rumah. Kemudian, membangun jaringan seluas-luasnya untuk melakukan proses dialogis, dan advokasi. Yang jelas seimbang dan mampu mengharmonisasikan antara peran diri, agar tidak timpang pada salah satunya. Dan telah terbukti bahwa telah mengakui eksistensi dan peran perempuan dalam membangun masyarakat. Perempuan diberikan peranan yang cukup signifikan dalam ikut mengatasi persoalan umat dan bangsa.