Minggu, 23 Januari 2011

EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM

BAB I

EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM

 OLEH : IR.AHMAD RIDWAN DAMANIK


A.PENGERTIAN EVALUASI PENDIDIKAN

Shalih Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Majid menyatakan “ innamal hayata madrasatun” artinyasesungguhnya kehidupan itu merupakan lembaga pendidikan. Pernyataan ini apabila digambarkan dalam program pendidikan maka akan menjelaskan bahwa pendidikan adalah upaya sadar dan bertanggung jawab untuk memelihara , membimbing, dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan peserta didik agar ia memiliki makna dantujuan hidup yang hakiki. Sementara proses pendidikan bertujuan untuk mewujudkan perubahanperubahan yang diinginkan pada setiap  peserta didik. Proses pendidikan yang dimaksud tidak terlepas dari beberapa komponen yang mendukungnya.  Salah satu komponen yang urgen dalam melihat keberhasilan pendidikan adalah penilaian. Konsep penilaian dalam wacana pendidikan memiliki makna ganda yaitu:
pertama, penilaian ditempatkan sebagai salah satu aktivitas epistemologi pendidikan Islam yang berguna untuk mengetahui berapa “banyak hasil yang diperoleh dalam proses pendidikan”.
Kedua, penilaian ditempatkan sebagai aksiologi pendidikan Islam yang berguna untuk memberi “muatan nilai” dalam setiap komponen dan proses pendidikan. Penilaian dalam konteks ini lebih mengarah pada aspek epistimologi pendidikan Islam dan bukan aksiologinya. (Langgulung, 1985 : 3). Omar Muhammad al-Toumy al-Saibany (1979 : 339) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang diinginkan pada peserta didik meliputi tiga bidang asasi, yaitu:
1.Tujuan personal yang berkaitan dengan individu-individu yang sedang belajar untuk terjadinya perubahan yang diinginkan, baik  perubahan tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya serta pertumbuhan yang diinginkan pada pribadi peserta didik.
2.Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai unit sosial berikut dengan dinamika masyarakat umumnya.
3.Tujuan-tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni dan profesi. Evaluasi berasal dari kata “to evaluate” yang berarti menilai. Penilaian atau evaluasi menurut Edwin Wandt dan Gerald W. Brown (1957 : 1) adalah ‘ act or procss to determining the value of something’ yaitu aktivitas atau proses untuk menentukan nilai atas sesuatu. Penilaian dalam pendidikan berarti seperangkat tindakan atau proses untuk menentukan nilai sesuatu yang berkaitan dengan dunia pendidikan.  Muhibbinsyah (2003 : 195) menyatakan evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah assesment yang menurut Tardif (1989 : 25) berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Selain kata evaluasi dan assesment ada pula kata lain yang memiliki arti yang sama dan relatif lebih dikenal dalam dunia pendidikan kita yakni, tes, ujian dan ulangan. Istilah ‘Ulangan’ dan ‘Ulangan Umum’ yang dulu disebut THB (Tes Hasil Belajar) itu adalah alat-alat ukur yang banyak digunakan untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah proses belajar mengajar (the teaching-learning process) atau untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah program pengajaran dan kenaikan kelas. Sementara itu, istilah evaluasi biasanya digunakan untuk menilai hasil pembelajaran para siswa pada akhir jenjang pendidikan tertentu, seperti Evaluasi Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang kini disebut Ujian Akhir Nasional (UAN). Selain evaluasi terdapat istilah lain yaitu measurement. Measurement berasal dari kata to measure yang berarti mengukur.  Measurement berarti perbandingan data kuantitatif dengan data kualitatif lainnya yang sesuai dengan tujuan mendapatkan nilai (angka). Pengukuran dalam pendidikan berarti usaha untuk memahami kondisikodisi objektif tentang sesuatu yang akan dinilai. Ukuran atau patokan yang menjadi pembanding perlu ditetapkan secara konkrit guna menetapkan nilai atau hasil perbandingan. Hasil penilaian tidak bersifat mutlak tergantung dari kriteria yang menjadi ukuran atau pembandingnya. (Qahar, 1972 : 1) Suharsimi Arikunto (1955 : 3) mengajukan tiga istilah dalam menerjemahkan kata evaluasi yaitu pengukuran, penilaian dan evaluasi. Pengukuran (measurement) adalah membandingkan sesuatu dengan alat ukur. Pengukuran ini bersifat kuantitatif. Penilaian adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan alat ukur baik dan buruk secara kualitatif. Sedangkan evaluasi adalah mencakup pengukuran dan penilaian secara kuantitatif.
B. EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Evaluasi dalam pendidikan Islam adalah suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan di dalam pendidikan Islam. (Zuhairini, 1981 : 139). Program evaluasi ini diterapkan dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengan materi, metode, fasilitas dan sebagainya. Dalam pendidikan Islam penilaian akan ojektif apabila didasarkan dengan tolok ukur Alquran atau Hadis sebagai pembandingnya. Pengukuran dalam pendidikan Islam juga bersifat konkrit, objektif dan didasarkan atas ukuran ukuran yang umum dan dapat dipahami secara umum pula. Contoh pelaksanaan sholat. Seorang yang melaksanakan sholat dapat diukur dan dinilai. Pengukuran sholat dilakukan pada aktivitas yang berkaitan dengan pelaksanaan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Bila hal tersebut terpenuhi, maka sholatnya dianggap sah dan seorang muslim terbebas dari kewajiban sholat. Sedangkan penilaian sholat yang berkaitan dengan adab-adab seperti keikhlasan, kekhusyu’an dan sebagainya sangat sulit untuk dilihat. Penilaian dalam aspek ini hanya bisa dilakukan dari aktivitas seseorang dalam kehidupan sehari-hari setelah ia melaksanakan sholat. Penilaian lebih sulit dari pengukuran, apalagi jika penilaian itu dikaitkan dengan nilai aspek-aspek keagamaan yang aspek tersebut merupakan bukan wewenang manusia melainkan wewenang Allah. (Ramayulis, 1999 : 37). Namun dalam Alquran dan hadis dapat ditemukan tolok ukur evaluasi dalam pendidikan Islam. Misalnya tolok ukur sholat yang baik dan sempurna mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar (QS, 29 : 45). Tolok ukur orang beriman yang sukses adalah bila melaksanakan sholat secara khusyu’, membayar zakat, menjaga kamaluan terhadap wanita yang yang bukan isteri dan sebagainya. (QS, 23 : 1-3). Tolok ukur perilaku seorang yang beriman adalah orang yang memuliakan tamunya, dan berbicara dengan perkataan yang baik atau diam. (HR. Bukhari : 6018). Begitu juga dengan tolok ukur orang munafik disebutkan Nabi dengan tiga kriteria yaitu apabila berkata selalu berdusta, apabila berjanji selalu ingkar, dan apabila diberi amanah ia berkhianat. (Jami’ul Ahadits, 1 : 53).
C. TERM EVALUASI DALAM WACANA PENDIDIKAN ISLAM.
Term atau istilah evaluasi dalam wacana pendidikan Islam tidak diperoleh padanan katanya yang pasti, tetapi terdapat term atau istilah-istilah tertentu yang mengarah pada makna evaluasi. Termterm tersebut adalah :
a. Al- Hisab,  memiliki makna mengitung, menafsirkan dan mengira. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah Swt :
وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ الُّ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذّبُ مَنْ يَشَاءُ وَالُّ عَلَى كُلّ شَيْءٍ قَدِير
Dan apabila kamu menzhahirkan/menyatakan apa yang ada di hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuta perhitungan dengan kamu tentang perbuatan tersebut. Maka Allah akan mengampuni siapa saja yang Dia kehendaki . Allah Maha Kuasa atas segalanya. (QS. Albaqarah, 2 : 284).
b. Al- Bala’ , memiliki makna cobaan, ujian.
Terdapat dalam Firman Allah Surat Al-Mulk (62) ayat 2:
الّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُور
Yang menjadikan kematian dan kehidupan sebagai ujian bagi kamu siapa ahsan (paling baik) amalnya. Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
c. Al-Imtihan, berarti ujian yang juga berasal dari kata mihnah. Bahkan dalam Alquran terdapat surat yang menyatakan wanita-wanita yang diuji dengan menggunakan kata imtihan yaitu surat al-Mumtahanah. Firman Allah Swt yang berkaitan dengan kata imtihan ini terdapat pada surat al- Mumtahanah (60) ayat 10 :
يَا أَيّهَا الّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُن
Wahai orang-orang yang beriman apabila telah datang kepada kamu wanita-wanita yang beriman yang melakukan hijrah maka ujilah iman mereka.”
d. Al-ikhtibar, memiliki makna ujian atau cobaan/al-bala’. Orang Arab sering menggunakan kataujian atau bala’ dengan sebutan ikhtibar. Bahkan dilembagapendidikan bahasa Arab menggunakan istilah evaluasi dengan istilah ikhtibar. (naskah ujian ma’had Abu Ubaidah, 2009).
Beberapa term tersebut di atas dapatdijadikan petunjuk arti evaluasi secara langsung atau hanya sekedar alat atau proses di dalamevalusi. Hal ini didasarkan asumsi bahwa Alquran dan Hadis merupakan asas maupun prinsip pendidikan Islam, sementara untuk operasionalnya tergantung pada ijtihad umat. Term penilaian pada taraf berikutnya lebih diorientasikan pada makna “penafsiran atau memberi putusan terhadap kependidikan’. Setiap tindakan pendidikan didasarkan atas rencana, tujuan, bahan, alat dan lingkungan kependidikan tertentu. Berdasarkan komponen ini, maka peran penilaian dibutuhkan guna mengetahui sejauh mana keberhasilan pendidikan tercapai.  Dari pengertian ini, proses pelaksanaan penilaian lebih ditekankan pada akhir tindakan pendidikan. Penilaian dalam pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan keputusan-keputusan pendidikan, baik yang menyangkut perencanaan, pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan, baik yang menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan.(Purwanto, 1975 : 12 ). Dalam konteks ini, penilaian dalam pendidikan Islam bertujuan agar keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam benar-benar sesuai dengan niai-nilai Islami sehingga tujuan pendidikan Islam yang dicanangkan dapat tercapai secara maksimal.


BAB II


TUJUAN DAN FUNGSI EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM



A.TUJUAN EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM


Tujuan program evaluasi adalah mengetahui kadar/ukuran pemahaman anak didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan mengajak anak didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan. Selain itu program evaluasi bertujuan untuk mengetahui siapa diantara anak didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga yang lemah diberi perhatian khusus agar ia dapat mengejar kekurangannya, sehingga naik tingkat, kelas maupun tamat sekolah. Sasaran evaluasi tidak bertujuan mengevaluasi anak didik saja, tetapi juga bertujuan untuk mengevaluasi pendidik yaitu sejauhmana ia bersungguh-sugguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. (Muhaimin, 1993 : 277). Selain tujuan di atas terdapat tujuan lainnya diadakan evaluasi yaitu :
a.Untuk mengetahui atau mengumpulkan informasi tentang taraf perkembangan dan kemajuan yang diperoleh peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. (PPSPA, 1974 : 109).
b.Mengetahui prestasi hasil belajar guna menetapkan keputusan apakah bahan pelajaran perlu diulang atau dapat dilanjutkan. Dengan demikian prinsip life long education (pendidikan seumur hidup) benar-benar berjalan secara berkesinambungan. (PPSPA, 1974 : 109).
c.Mengetahui efektivitas cara belajar dan mengajar apakah yang telah dilakukan pendidik benar-benar tepat atau tidak, terutama berkenaan dengan sikap pendidik maupun sikap peserta didik. (PPSPA, 1974 : 111).
d.Mengetahui kelembagaan , ketersediaan sarana prasarana dan efektifitas media yang digunakan guna menetapkan keputusan yang tepat dan mewujudkan persaingan sehat dalam rangka berpacu dalam prestasi. Muhibbinsyah (2003 : 196) menguraikan tujuan evaluasi pendidikan ditinjau dari hasil  belajar sebagai berikut :
Pertama, untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu kurun waktu proses belajar tertentu. Hal ini berarti, dengan evaluasi guru dapat mengetahui kemajuan perubahan tingkah laku siswa sebagai hasil proses belajar dan mengajar yang melibatkan dirinya sebagai pembimbing dan pembantu kegiatan belajar siswanya.
Kedua, untuk mengetahui kedudukan atau posisi seorang siswa dalam kelompok kelasnya. Dengan demikian, hasil evaluasi itu dapat dijadikan guru sebagai alat penetap apakah siswa tersebut termasuk kategori cepat atau lambat dalam arti mutu kemampuan belajarnya.
Ketiga, untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar. Hal ini berarti bahwa dengan evaluasi, guru akan dapat mengetahui gambaran tingkat usaha siswa. Hasil yang baik pada umumnya menunjukkan adanya tingkat usaha yang efisien, sedangkan hasil yang buruk adalah cerminan usaha yang tidak efisien.
Keempat, untuk mengetahui sejauh mana siswa telah mendayagunakan kapasitas kognitifnya (kemampuan kecerdasan yang dimilikinya) untuk keperluan belajar. Jadi hasil evaluasi itu dapat dijadikan guru sebagai gambaran realisasi pemanfaatan kecerdasan siswa.
Kelima, untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode mengajar yang telah digunakan guru dalam proses belajar mengajar (PMB). Dengan demikian apabila sebuah metode yang digunakan guru tidak mendorong munculnya prestasi belajar siswa yang memuaskan, guru dianjurkan mengganti metode tersebut atau mengkombinasikannya dengan metode lain yang serasi. Selain itu berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Pasal 58 (1) evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik, secara berkesinambungan. Dengan demikian, maka evaluasi belajar harus dilakukan guru secara kontinyu bukan hanya pada musim-musim ulangan terjadwal semata.
B. FUNGSI EVALUASI PENDIDIKAN
Fungsi evaluasi adalah membantu anak didik agar ia dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar, serta memberi bantuan padanya cara meraih suatu kepuasan bila berbuat sebagaimana mestinya. Disamping itu, fungsi evaluasi juga dapat membantu seorang pendidik dalam mempertimbangkan adequate (baik tidaknya) metode pengajaran, serta membantu dan mempertimbangkan administrasinya.(Hamalik, 1992: 4-5). Sasaran-sasaran evaluasi pendidikan Islam secara garis besarnya meliputi empat kemampuan anak didik, yaitu:
1. Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya.
2. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
3. Sikap    dan   pengalaman   terhadap   arti    hubungan    kehidupannya   dengan   alam  sekitarnya.
4.Sikap dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakat serta selaku khalifah Allah Swt.
Keempat kemampuan dasar di atas dijabarkan dalam klasifikasi kemampuan tenik menjadi masing-masing sebagai berikut :
1.Sejauh mana loyalitas dan pengabdiannya kepada Allah Swt dengan indikasi-indikasi lahiriah berupa tingkah laku yang mencerminkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
2.Sejauhmana ia dapat menerapkan nilai-nilai agamanya dan kegiatan hidup bermasyarakat, seperti akhlak yang mulia, disiplin.
3.Bagaimana ia berusaha mengelola dan memelihara serta menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, apakah ia merusak ataukah memberi makna bagi kehidupan.
4.Bagaimana dan sejauhmana ia memandang diri sendiri sebagai hamba Allah dalam menghadapi kenyataan masyarakat yang beraneka ragam budaya,suku dan agama. (Arifin, 1991 : 239-240). Allah Swt dalam mengevaluasi hambahamba-Nya tidak memandang formalitas, tetapi memandang substansi di balik tindakan hamba-hamba tersebut . Sabda Rasulullah Saw :
اِنّ الَ تَعَالَى لَيَنْظُرُ اِلى صُوَرِكُمْ وَلَ اِلىَ أَجْسَامِكُمْ وَلَ اِلَى اَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ اَلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ (رواه الطبراني)
“ Sesungguhnya Allah Swt tidak memandang kepada bentuk rupa kamu dan bukan pula postur tubuh kamu juga bukan kepada harta kamu melainkan Allah memandang kepada hati kamu dan amal perbuatan kamu. “(HR. Thabarani). Ramayulis (2009 : 245) menjelaskan bahwa evaluasi dalam pendidikan Islam berfungsi sebagai umpan balik (feed back) atau dikenal dengan istilah muraja’ah terhadap kegiatan pendidikan. Umpan balik berguna untuk :
Pertama, ishlah, yaitu perbaikan terhadap semua komponen pendidikan termasuk perbaikan perilaku, wawasan dan kebiasaan-kebiasaan peserta didik.
Kedua, tazkiyah, yaitu penyucian terhadap semua komponen pendidikan, artinya melihat kembali program-program pendidikan yang dilakukan, apakah program tersebut penting atau tidak dalam kehidupan peserta didik. Apabila terdapat program yang harus dihilangkan dan dicarikan sublimasi yang cocok dengan program semula. Ketiga, tajdid, yaitu memodrenisasi semua kegiatan pendidikan. Kegiatan yang tidak relevan baik untuk kepentingan internal maupun eksternal perlu diubah dan dicarikan penggantinya yang lebih baik. Dengan kegiatan ini, maka pendidikan dapat dimobilisasi dan didinamisasi untuk lebih maju.
Keempat, ad-dakhil, yaitu masukan sebagai laporan bagi orang tua peserta didik berupa rapor, ijazah, sertifikat dan sebagainya.

BAB III

OBJEK DAN SISTEM EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM

A.OBJEK EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM
Objek evaluasi Pendidikan Islam dalam arti yang umum adalah peserta didik. Sementara dalam arti khusus adalah aspek-aspek tertentu yang terdapat pada peserta didik. Peserta didik disini sebenarnya bukan hanya sebagai objek evaluasi semata, tetapi juga sebagai subjek evaluasi. Oleh karena itu, evaluasi pendidikan Islam dilakukan dengan dua cara yaitu : pertama, evaluasi atas diri sendiri ( selfevaluation /muhasabah), kedua, evaluasi terhadappeserta didik. (Ramayulis, 2009 : 237).
1. Evaluasi atas diri sendiri (self evaluation /muhasabah)
Seorang muslim termasuk peserta didik yang sadar dan baik adalah mereka yang sering mengevaluasi diri sendiri, baik mengenai kelebihan yang harus dipertahankan maupun kekurangan dan kelemahan yang perlu dibenahi, karena evaluasi diri sendiri bersifat lebih objektif. Hal ini ditegaskan dalam Alquran surat Adz-Dzariat (51) ayat 21 :     وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَ تُبْصِرُونَ
“ Dan pada diri kamu kamu sendiri maka mengapa kamu tidak mau melihat dan memikirkannya.”?
Umar bin Khattab pernah mengatakan hasibuanfusakum qabla an tuhasabu (evaluasilah diri kamu sendiri sebelum kamu mengevaluasi orang lain). Manusia dituntut untuk waspada dalam melakukan berbagai perbuatan karena semua perbuatan manusia tidak lepas dari evaluasi Allah serta dua malaikat sebagai supervisor dan evaluator yaitu Raqib dan ‘Atid berdasarkan surat Albaqarah (2) ayat 115 :  وَلِِّ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلّوا فَثَمّ وَجْهُ الِّ إِنّ الَّ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kepunyaan Allah Timur dan Barat maka dimanapun kamu menghadap maka disanalah wajahAllah sesungguhnya Allah Maha luas limpahan Rahmat dan Karunianya lagi Maha Mengetahui.”
Dan juga terdapat pada surat Qaf (50) ayat 18 :  مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“ Tidak ada satu perkataan yang dilafazkan melainkandisisinya terdapat malaikat Raqib dan ‘Atid yang siapmenuliskan segala perbuatannya.”
Hasil penilaian yang baik mendapatkan surga sedangkan hasil penilaian buruk mendapatkan neraka.
2.Evaluasi terhadap peserta didik Evaluasi ini harus disertai niat “ Amar Ma’rufNahi Munkar” yang bertujuan memperbaiki (ishlah)bagi tindakan orang lain, serta untuk terlaksananyasuatu tujuan pendidikan Islam sesuai dengan tuntunan Alquran dalam surat Al’Ashr (103): ayat 3 :
إِلّ الّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقّ وَتَوَاصَوْا بِالصّبْرِ
Kecuali orang-orang yang beriman dan ber’amalshalih saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.”
Ada satu asumsi bahwa dalam kondisi tertentu, seseorang terkadang lepas kendali, sehingga ia melakukan tindakan tidak dalam kesadarannya yang hakiki, karena terpengaruh oleh emosi dan sifat subjektivitasnya. Pada saat inilah, orang lain mudah menilai dan mengevaluasi kegiatan tersebut, sedangkan pelaku sendiri tidak mengerti apakah tindakannya itu benar atau salah. Pengevaluasian dari orang lain (pendidik) dalam hal ini lebih bersifat komparabel, menilai anak didik secara jelas dan jawaban yang salah segera dibenarkan bukan dibiarkan berlarut-larut, sehingga anak didik tetap tenggelam dalam kebimbangan, kebodohan dan tidak dapat melangkah yang lebih maju. (Muhaimin, 1993 : 280).
B. ASPEK-ASPEK EVALUASI PENDIDIKAN
Aspek-aspek khusus yang menjadi sasaranevaluasi pendidikan Islam adalah perkembangan peserta didik. Perkembangan peserta didik dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu;
1.Dilihat dari sudut tujuan umum pendidikan Islam
Tujuan umum pendidikan Islam adalah adanya taqarrub dan penyerahan mutlak peserta didik kepada Allah Swt. Evaluasi disini meliputi aspek:
a.Perkembangan ibadah peserta didik
b.Perkembangan pelaksanaan menjadi khalifah Allah di muka bumi
c.Perkembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt.
d.Perkembangan pemenuhan kewajiban hidup berupa kewajiban yang bersifat duniawi dan ukhrawi.
2. Dilihat dari sudut fungsi pendidikan Islam
Fungsi pendidikan adalah pengembangan potensi peserta didik, transinternalisasi nilai-nilai Islam, dan mempersiapkan segala kebutuhan masa depan peserta didik. Evaluasi disini meliputi aspek aspek:
a.Perkembangan pendayagunaan potensi-potensi peserta didik, misalnya potensi ijtihad,  jihad,  tajdid,  emosi, kognisi (cipta) dan konasi (karsa)
b.Perkembangan perolehan, pemahaman dan pelaksanaan nilai-nilai Islam
c.Perkembangan perolehan kelayakan hidup, baik hidup yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.
3. Dilihat dari sudut-sudut dimensi-dimensi kebutuhan hidup dalam pendidikan Islam. Dimensi-dimensi kebutuhan hidup manusia meliputi :
a.Berdasarkan kebutuhan asasi hidup manusia seperti kebutuhan primer(hajjah), sekunder (dharuriyah), pelengkap/tersier (tahsiniyyah).
b.Berdasarkan segi-segi yang terdapat pada psikopisik manusia, seperti segi jasmaniyyah (fisik), aqliyyah (akal), akhlaqiyyah (adab/perilaku), ijtimai’yyah (kemasyarakatan atau sosial), dan fannaniyyah (artistik/seni). Sementara itu aspek-aspek evaluasi meliputi :
a.Perkembangan peserta didik dalam memperoleh dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Perolehan dan pemenuhan kebutuhan ini didasarkan atas hirarkinya, misalnya perkembangan pemenuhan kebutuhan agama (li hifdz ad- din), jiwa (li hifdzan-nafs), akal (li hifdz al-‘aqal), keturunan (lihifdz an-nasl), harta dan kehormatan (li hifdzalamwalwa’irdh) bermuamalah dan sebagainya.
b.Perkembangan pendayagunaan dan optimalisasi potensi jasmani, intelegensi dan emosi agar peserta didik mampu memiliki kepribadian mulia, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, alam dan kepada pencipta alam semesta raya Allah Swt.
4. Dilihat dari domain atau ranah yang terdapat pada diri peserta didik Taksonomi Bloom yang telah merakyat meliputi kognitif, afektif dan psikomotor hampir mendekati taksonomi dalam pendidikan Islam. Kedekatan tersebut dapat dilihat dari beberapa ciri, yaitu :
a. Aspek kognitif : berupa pengembangan pengetahuan agama termasuk di dalamnya fungsi ingatan dan kecerdasan. Di samping pembinaan sikap dan pertumbuhan keterampilan beragama, maka perlu sekali diketahui oleh pendidik adalah pemberian pelajaran agama kepada peserta didik. Pelajaran agama yang diberikannya kepada peserta didik tersebut hendaklah yang dapat dikuasai, dipatuhi, dianalisa dan dapat digunakan oleh peserta didik dalam situasi konkrit yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
b. Aspek afektif, berupa pembentukan sikap terhadap agama termasuk di dalmnya fungsi perasaan dan sikap. Tujuan utama dan pertama dalam pendidikan agama adalah pertumbuhan dan pengembangan sikap positif dan cinta kepada agama. Tujuan utama ini nantinya yang akan membuat anak menjadi orang dewasa yang hidup sesuai dengan ajaran agama, berakhlak dan beraktivitas sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Sikap ini nantinya yang akan dapat menjauhkan peserta didik dari berbagai godaan duniawi yang bertentangan dengan agama. Bahkan peserta didik akan menjadi pribadi tangguh dalam menghadapi segala persoalan dan kesukaran hidup dan bertahan dalam kondisi moral yang diridhoi oleh Allah Swt.
c. Aspek psikomotor berupa menumbuhkan keterampilan beragama, termasuk di dalamnya fungsi kehendak, kemauan dan tingkah laku. Keterampilan beragama harus ditumbuhkan dan dibina pada peserta didik meliputi keterampilan beragama dalam menghubungkannya dengan Tuhan dalam ibadah. Perlu diperhatikan penanaman keterampilan melakukan ibadah harus pula disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, dilakukan dengan latihan dan pembinaan secara berangsurangsur. Demikian pula terhadap keterampilan dalam hubungan dengan sesama manusia dan alam sekitar.
C. SISTEM EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Sistem evaluasi yang dikembangkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya yang berimplikasi pedagogis sebagai berikut:
a. Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang dialami sesuai dengan Alquran surat Albaqarah ayat 155 :
وَلَنَبْلُوَنّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الَْمْوَالِ وَالَْنْفُسِ وَالثّمَرَاتِ وَبَشّرِ الصّابِرِينَ
“ Dan benar-benar Kami uji kamu manusia dengan sesuatu berupa rasa takut, rasa lapar dan kekurangan harta serta hilangnya jiwa berupa kematian serta kekurangan buah-buahan semacam paceklik namun demikian berilah kabar gembira bagi orang orang yang sabar.”
b. Untuk mengetahui sejauhmana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu yang telah diaplikasikan oleh Rasulullah Saw kepada umatnya sesuai dengan Alquran surat an-Naml ayat 27 :
هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ 
… Ini adalah limpahan Karunia Tuhanku untuk menguji apakah aku adalah orang yang bersyukur atau tidak atas nikmat pemberianNya.”
c. Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat hidup keislaman atau keimanan seseorang, seperti pengevaluasian Allah terhadap Nabi Ibrahim yang meyembelih Ismail putera yang dicintainya.
d. Untuk mengukur daya kognisi, hafalan manusia dari pelajaran yang telah diberikan padanya, seperti pengevaluasian terhadap Nabi Adam tentang asmaasma yang diajarkan kepadanya dihadapan para Malaikat.
e. Memberikan semacam tabsyir (berita gembira) bagi yang beraktivitas baik, dan memberikan semacam iqab (siksa) bagi mereka yang beraktivitas buruk.
BAB IV
PRINSIP-PRINSIP DAN SYARAT-SYARAT EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM 
A.PRINSIP-PRINSIP EVALUASI PENDIDIKAN.
Prinsip-prinsip evaluasi pendidikan Islam sebenarnya sama dengan prinsip-prinsip pendidikanpada umumnya. Hanya saja, prinsip evaluasi pendidikan Islam dilandasi oleh nilai-nilai universal ajaran Islam. Adapun prinsip-prinsip evaluasi yang dimaksud adalah :
1. Prinsip kesinambungan (kontinuitas), evaluasi ini tidak hanya dilakukan setahun sekali, atau persemester, tetapi dilakukan secara terus-menerus, mulai dari proses belajar mengajar sambil memperhatikan keadaan anak didiknya, hingga anak didik tersebut tamat dari lembaga sekolah. Dalam ajaran Islam sangat diperhatikan prinsip kontinuitas, karena dengan berpegang pada prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang menjadi valid dan stabil sesuai dengan surat al-Fushshilat ayat 30 :
إِنّ الّذِينَ قَالُوا رَبّنَا الُّ ثُمّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَئِكَةُ أَلّ تَخَافُوا وَلَ تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنّةِ الّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhya orang-orang yang mengatakan Tuhan Kami adalah Allah kemudian mereka berpegang teguh dan tetap istiqomah maka Malaikat akan turun danmengatakan janganlah Kamu takut dan bimbang dan berilah kabar gembira dengan jannah (surga) yang telah dijanjikan buat kamu.”.
Prinsip evaluasi ini diperlukan atas pemikiran bahwa pemberian materi pendidikan pada peserta didik tidak sekaligus, melainkan bertahap dan berproses seiring dengan kemampuan dan perkembangan psikofisik peserta didik. Oleh karena itu, proses evaluasi perlu mengikuti tahapan-tahapantersebut, walaupun masing-masing tahapan tidak dapat dipisahkan. Prinsip ini diisyaratkan dalam Alquran mengenai kasus keharaman khamar dansistem riba yang proses larangannya dilakukan secara betahap namun terus menerus. (Ramayulis, 1994 : 298).
2. Prinsip menyeluruh (komprehensif)
Prinsip yang melihat semua aspek, meliputi kepribadian, ketajaman hapalan, pemahaman, ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama, tanggung jawab dan sebagainya, sesuai dengan Alquran dalam surat Al-zalzalah ayat 7-8 :
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرّةٍ شَرّا يَرَهُ
“Barangsiapa yang berbuat kebaikan sebesar biji dzarrah niscaya akan memperoleh balasan, dan barangsiapa yang berbuat keburukan sebesar biji dzarrah niscaya juga akan memperoleh balasan.”
Prinsip evaluasi ini dilakukan pada semua aspek-aspek kepribadian peserta didik, yaitu aspek intelegensi,  pemahaman,  sikap, kedisiplinan, tanggung jawab,  pengalaman ilmu yang diperoleh (baik pengejawantahannya sebagai hamba Allah, kalifatullah dan waratsatul anbiya’ dan sebagainya. Selain itu, prinsip menyeluruh berlaku untuk seluruh materi pendidikan agama Islam.
3. Prinsip objektivitas
Dalam mengevaluasi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya tidak boleh dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat emosional dan irasional. (Rusyan, 1989 : 211). Evaluasi ini dilakukan secara adil, bukan subjektif. Artinya pelaksanaan evaluasi berdasarkan keadaan sesungguhnya dan tidak dicampuri oleh halhal yang bersifat emosional dan irasional. Sikap ini secara tegas dikatakan oleh Rasulullah Saw dengan melarang seorang hakim yang sedang marah untuk memutuskan perkara, sebab hakim semacam ini pikirannya diliputi emosi yang mengakibatkan putusannya tidak objektif dan rasional. Prinsip ini juga ditegaskan oleh dalam surat al- Maidah ayat 8 bahwa seseorang itu harus berlaku adil dalam mengevaluasi sesuatu jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan evaluasi yang dilakukan :
يَاأَيّهَا الّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوّامِينَ لِِّ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَ يَجْرِمَنّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتّقْوَى وَاتّقُوا الَّ إِنّ الَّ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“ Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang-orang yang menegakkan keadilan dan menjadi saksi bagi keadilan dan janganlah karena kebencianmu kepada suatu kaum menyebabkan kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah karena adil itu akan mendekatkan kamu kepada ketaqwaan. Bertaqwalah kepada Allah , sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu perbuat.”
Contoh dari prinsip ini sebagaimana yang ditegaskan Nabi Muhammad Saw dalam sabdanya : Andaikata Fatimah binti Muhammad itu mencuri niscaya aku tidak segan-segan memotong kedua tangannya.” Demikian pula halnya Umar bin Khattab yang mencambuk anaknya karena ia berbuat zina. Prinsip ini dapat diterapkan bila penyelenggara pendidikan mempunyai sifat-sifat umum , misalnya sifat siddiq (benar atau jujur), ikhlas, amanah, ta’awun (saling tolong -menolong), ramah dan sebagainya.

B. SYARAT-SYARAT EVALUASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Syarat-syarat yang dapat digunakan dalam evaluasi pendidikan Islam adalah :
1.Validity, yaitu pelaksanaan tes harus berdasarkan hal-hal yang seharusnya dievaluasi,  yang meliputi seluruh bidang tertentu yang diingini dan diselidiki sehingga tidak hanya mencakup satu bidang saja. Soal soal tes harus memberi gambaran keseluruhan (representatif) dari kesanggupan anak mengenai bidang itu.
2.Reliable, yaitu tes tersebut dapat dipercayai yakni dengan memberikan ketelitian dan keterangan tentang kesanggupan anak didik sesungguhnya, soal yang ditampilkan tidak membawa tafsiran yang bermacam-macam sehingga mudah dimengerti oleh peserta didik.
3.Efisiensi, yaitu tes yang dilakukan merupakan tes yang mudah administrasinya, penilaian dan interpretasinya (penafsirannya). (Nasution, 1982 : 169). Selain itu, evaluasi yang dilaksanakan harus secara cermat dan tepat pada sasarannya. Sesuai dengan Alquran surat Al- Insyiqoq (84) ayat 8 :  فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا
“ Maka dia akan dievaluasi dengan pengevaluasian yang mudah.”
4. Ta’abbudiyyah dan ikhlas, yaitu evaluasi yang dilakukan dengan penuh ketulusan dan pengabdian kepada Allah Swt.  Apabila prinsip ini dilakukan, maka upaya evaluasi akan membuahkan kesan husnu zhann (prasangka baik) terjadi perbaikan tingkah laku secara positif dan menutupi rahasia-rahasia buruk pada diri seseorang.

BAB V

JENIS-JENIS EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM

Jenis-jenis evaluasi yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam ada beberapa macam yaitu :
1.Evaluasi formatif :
Evaluasi ini digunakan untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai anak didik setelah ia menyelesaikan program dalam satuan bahan pelajaran pada suatu bidang studi tertentu. Evaluasi ini dipandang sebagai “ulangan” yang dilakukan pada setiap akhir penyajian satuan pelajaran atau modul. Tujuannya adalah untuk memperoleh umpan balik yang mirip dengan evaluasi diagnostik (penjelasannya akan dijelaskan selanjutnya) yakni mendiagnosis (mengetahui penyakit/kesulitan) belajar siswa. Hasil diagnosis kesulitan belajar tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan rekayasa pengajaran remidial (perbaikan). (Muhibbinsyah, 2000: 200). Asumsi yang mendasari evaluasi ini adalah bahwa manusia dalam hal ini peserta didik mempunyai banyak kelemahan (QS.4: 28) :    … وَخُلِقَ الِْنْسَانُ ضَعِيفًا
Diciptakan manusia dalam keadaan lemah.” Dan pada mulanya tidak mengetahui apa-apa (QS. 16 : 78) :    وَالُّ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمّهَاتِكُمْ لَ تَعْلَمُونَ شَيْئًا
“ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibu kamu sedangkan kamu tidak mengetahui apaapa.”
Sehingga pengetahuan, keterampilan dan sikap tidak akan lebih abadi bila pengetahuan, keterampilan dan sikap itu tidak dibiasakan. Untuk itu Allah Swt meganjurkan agar manusia berkonsentrasi pada suatu informasi yang didalami sampai tuntas, mulai proses pencarian (belajarmengajar) sampai pada tahap pengevaluasian. Setelah informasi itu dikuasai dengan sempurna, ia dapat beralih pada informasi yang lain . Dalam melaksanakan evaluasi formatif, seorang pendidik perlu memperhatikan beberapa aspek evaluasi jenis ini, yaitu :
a.Aspek fungsi, yaitu untuk memperbaiki proses belajar mengarah ke arah yang lebih baik dan efisien.
b.Aspek tujuan, yaitu mengetahui sampai dimana penguasaan peserta didik tentang bahan pendidikan yang diajarkan dalam satu program satuan satuan pelajaran serta sesuai atau tidaknya dengan tujuan.
c.Aspek yang dinilai, yaitu untuk mengetahui aspek-aspek yang dinilai pada penilaian formatif, meliputi, tingkat pengetahuan peserta didik , keterampilan dan sikapnya ketika dan setelah proses pembelajaran dilaksanakan.
2.Evaluasi Sumatif.
Yaitu evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta didik setelah mengikuti pelajaran dalam satu catur wulan, satu semester atau akhir tahun untuk menentukan jenjang pendidikan berikutnya. Evaluasi sumatif ini dapat dianggap sebagai “ ulangan umum” yang dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan program pengajaran. Evaluasi ini lazim dilakukan pada setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran. Hasilnya dijadikan bahan laporan resmi mengenai kinerja akademik siswa dan bahan penentu naik tidaknya siswa ke kelas yang lebih tinggi. (Muhibbinsyah, 2003 : 200-2001). Asumsi evaluasi ini adalah bahwa segala sesuatu termasuk peserta didik diciptakan mengikuti hukum bertahap. Setiap tahap memiliki satu tujuan dan karakteristik tertentu.(Ramayulis, 2003 : 242). Satu tahapanyang harus diselesaikan terlebih dahulu untuk kemudian beralih ke tahapan yang lebih baik. (QS.b84 : 19) :
لَتَرْكَبُنّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ
Sesungguhnya kamu akan melalui tingkat (tahap) demi tahap dalam kehidupan.”
Dalam melaksanakan evaluasi sumatif, seorang pendidik perlu memperhatikan beberapa aspek evaluasi jenis ini yaitu :
a. Aspek fungsi, yaitu untuk menentukan angka atau nilai peserta didik setelah mengikuti program bahan pelajaran dalam satu catur wulan atau semester.
b. Aspek tujuan, yaitu mengetahui taraf hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik setelah menyelesaikan program bahan pelajaran dalam catur wulan, semester, akhir tahun atau akhir program pelajaran pada suatu unit pendidikan tertentu.
c. Aspek yang dinilai, yaitu untuk mengetahui aspek-aspek yang dinilai atas kemajuan hasil pelajaran meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap dan penguasaan peserta didik tentang materi yang diberikan. (Harahap, tt : 26).
d. Waktu pelaksanaan, yaitu untuk mengetahui kapan sebaiknya penilaian dilaksanakan, apakah sebelum, ketika proses belajar berlangsung atau akhir proses pembelajaran.
3. Evaluasi penempatan (placement), yaitu evaluasi yang dilakukan sebelum peserta didik mengikuti proses belajar mengajar untuk kepentingan penempatan pada jurusan atau fakultas yang diingini. Asumsi yang mendasari evaluasi ini bahwa setiap manusia dalam hal ini peserta didik memiliki perbedaan-perbedaan dan potensi khusus. Perbedaan ini kadang-kadang merupakan kelebihan atau kelemahan. Masingmasing perbedaan harus ditempatkan sebagaimana seharusnya, sehingga kelebihan individu dapat berkembang dan kelemahannya dapat diperbaiki. Firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 84 :
كُلّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى سَبِيلً
“ Tiap-tiap orang berbuat berbuat menurut keadaannya masing-masing.”
Dalam melaksanakan evaluasi placement, seorang pendidik perlu memperhatikan beberapa  aspek evaluasi jenis ini, yaitu :
a. Aspek fungsi, yaitu untuk mengetahui potensi, kecenderungan kemampuan peserta didik dan keadaan pribadinya agar dapat ditempatkan pada posisinya. Umpamanya, anak yang berbadan kecil jangan ditempatkan di paling belakang, tetapi sebaiknya di depan agar ia tidak mengalami kesulitan mengikuti proses pembelajaran. Begitu pula kasus penempatan jurusan tertentu. Di Madrasah Aliyah, umpamanya, peserta didik yang berbakat Ilmu Pasti jangan ditempatkan pada jurusan Bahasa, sebab akan mengalami hambatan dalam menerima pelajaran lebih lanjut. Banyak lagi masalah-masalah lain yang harus diperhatikan dalam penempatan peserta didik.
b. Aspek tujuan, yaitu menempatkan peserta didik pada tempat yang sebenarnya berdasarkan bakat, minat, kemampuan, kesanggupan serta keadaandiri anak sehingga anak tidak mengalami hambatan dalam mengikuti pelajaran atau setiap program/bahan yang disajikan pendidik. (Harahap,tt : 6).
c. Aspek yang dinilai, yaitu untuk mengetahui keadaan fisik dan psikis, bakat, minat,kemampuan, pengetahuan, pengalaman, keterampilan, sikap dan aspek-aspek lain yang dianggap perlu bagi kepentingan pendidikan anakselanjutnya. Kemungkinan penilaian ini dapat juga dilakukan setelah anak mengikuti pelajaran selamasatu catur wulan, satu semester, atau satu tahun sesuai dengan tujuan lembaga pendidikan yangbersangkutan.
d. Aspek waktu pelaksanaan, yaitu untuk mengetahui kapan sebaiknya dilaksanakanpenilaian penempatan (placement), apakah sebelum anak mengikuti proses pembelajaran atau setelah mengikuti pendidikan di suatu tingkat pendidikan tertentu.
4. Evaluasi diagnostik, yaitu evaluasi yang dilakukan terhadap hasil penganalisaan tentang keadaan belajar peserta didik, meliputi kesulitan-kesulitan atau hambatan yang ditemui dalam situasi belajar mengajar. Asumsi yang mendasarievaluasi ini adalah bahwa pengalaman pahit masa lalu dapat dijadikan guru untuk memperbaiki masadepan. Setiap kegiatan dalam proses pembelajaran tidak terlepas dari kesulitan dan hambatan yang dihadapi, maka ia akan memperoleh kemudahan dalam kegiatan berikutnya. Menurut Muhibbinsyah(2003 : 200), evaluasi ini dilakukan setelah penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa. Instrumen evaluasi jenis ini dititik beratkan pada bahasan tertentu yang dipandang telah membuat siswamendapatkan kesulitan. Dalam Islam, banyak Firman Allah yang mengisyaratkan asumsi ini, seperti peringatan Allah dalam kisah-kisah kaum terdahulu yang hancur dikarenakan membuat kesulitan dan tidak mampu menyelesaikan kesulitannya (QS.Al-Hasyr :

وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدّمَتْ لِغَدٍ
“ Dan hendaknya setiap diri memperhatikan(mengevaluasi) apa yang telah diperbuat untukhari esok.”
Dalam melaksanakan penilaian diagnostik,seorang pendidik perlu memperhatikan beberapaaspek evaluasi jenis ini yaitu :
a. Aspek fungsi, yaitu untuk mengetahui masalahmasalah yang menganggu peserta didik yang dapat mempersulit dan menghambat proses pembelajaran, baik dalam satu bidang studi tertentu atau keseluruhan bidang studi.  Setelah mengetahui penyebab kesulitan terjadi, lalu diformulasikan usaha pemecahannya.
b. Aspek tujuan, yaitu membantu kesulitan atau mengatasi hambatan yang dialami peserta didik waktu mengikuti kegiatan belajar pada satu mata pelajaran atau keseluruhan program pengajaran.
c. Aspek yang dinilai, yaitu untuk mengetahui hasil belajar yang diperoleh peserta didik, latar belakang kehidupannya dan semua aspek yang menyangkut kegiatan belajar.
d. Aspek waktu pelaksanaan, yaitu untuk mengetahui kapan diperlukan pembinaan yang tepat dalam rangka meningkatkan mutu pengetahuan peserta didiknya.
Menurut Muzayyin, meskipun dalam sumber ilmu pendidikan Islam klasifikasi jenis penilaian di atas tidak ditemukan secara eksplisit, namun dalam praktek dapat diketahui bahwa pada prinsipnya jenis penilaian tersebut seringkali ditemukan. (Muzayyin, 1991 : 246). Disamping itu dalam pendidikan Islam seorang pendidik bisa saja mengadopsi hal-hal yang positif yang datang dari luar untuk diterapkan pula dalam pendidikan Islam selama yang diadopsi tersebut tidak bertentangan
dengan prinsip kependidikan dalam Islam.
5. Evaluasi Prasyarat. Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pre test. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi penguasaan siswa atas materi lama yang mendasari materi baru yang akan diajarkan. Contoh, evaluasi penguasaan penjumlahan bilangan sebelum memulai pelajaran perkalian bilangan, karena penjumlahan merupakan prasyarat atau dasar pekalian.
6. Ujian Akhir Nasional (UAN) Ujian Akhir Nasional (UAN) yang dulu disebut EBTANAS bahkan sekarang diganti menjadi Ujian Nasional (UN) pada prinsipnya sama dengan evaluasi sumatif dalam arti sebagai alat penentu kenaikan status siswa. Namun UAN yang diberlakukan mulai tahun 2002 itu dirancang untuk siswa yang telah menduduki kelas tertinggi pada satu jenjang pendidikan tertentu seperti jenjang SD/MI, SLTP/MTs, dan sekolah-sekolah menengah yakni SMA dan sebagainya.

BAB VI

SIFAT, TEKNIK DAN RAGAM ALAT EVALUASI PENDIDIKAN


A.SIFAT –SIFAT EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM

Sifat-sifat evaluasi yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut (Muhaimin, 1993: 283)
a.Kuantitatif, yaitu hasil evaluasi yang diberikan skor atau nilai dalam bentuk angka, misalnya : 50, 79, 100.
b.Kualitatif, yaitu hasil evaluasi yang diberikan dalam bentuk pernyataan verbal, misalnya : memuaskan, baik, cukup dan kurang.
B. TEKNIK EVALUASI PENDIDIKAN
Teknik yang dapat digunakan dalam evaluasi pendidikan Islam adalah :
1.Teknik tes :
Teknik tes adalah tenik yang digunakan untuk menilai kemampuan anak didik, meliputi pengetahuan dan keterampilan sebagai hasil belajar, serta bakat khusus dan inteligensinya.
Teknik ini terdiri atas :
a. Uraian (essay test) terdiri dari :
1. Uraian bebas (free essay)
2. Uraian terbatas (limited essay)
b. Objective test
1. Betul –salah (true-false)
2. Pilihan ganda (multiple choice)
3. Menjodohkan (matching)
4.  Isian (complition)
5.  Jawaban singkat (short answer)
c.  Bentuk tes lain :
1.  Bentuk ikhtisar
2.  Bentuk laporan
3. Bentuk khusus dalam pelajaran bahasa seperti , ta’bir syafawi (oral test) dan ta’bir tahriri (written test).
2.Non tes :
Teknik yang digunakan untuk menilai karakteristik lainnya, misalnya minat, sikap, kepribadian siswa dan sebagainya.  Teknik ini meliputi :
a. Observasi terkontrol
b. Wawancara/interview, rating scale
c. Inventory
d. Questionnaire
e. Anecdotal accounts
Jenis evaluasi yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam adalah :
1. Tes tertulis (written test)
2. Tes lisan (oral test)
3. Test perbuatan (performance test)
Aspek kognitif biasanya menggunakan tes tertulis maupun lisan, sedangkan aspek psikomotorik menggunakan tes perbuatan. (Zuhairini, 1981: 158).
C. Ragam Alat Evaluasi
Muhibbinsyah (2003 : 201) menggolongkan teknik evaluasi ke dalam pembagian ragam alat evaluasi. Menurutnya secara garis besar ragam alat evaluasi terdiri atas dua macam bentuk, yaitu :
1). Bentuk objektif; 2). Bentuk subjektif.  Bentuk objektif biasanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk alternatif jawaban, pengisian titik-titik dan pencocokan satu pernyataan dengan pernyataan lainnya.
a. Bentuk Objektif .
Bentuk ini lazim disebut tes objektif, yakni tes yang jawabannya dapat diberi skor nilai secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya. Ada lima macam yang termasuk dalam evaluasi ragam objektif ini.
1.Tes Benar- Salah
Tes ini merupakan alat evaluasi yang paling bersahaja baik dalam hal susunan item-itemnya maupun dalam hal cara menjawabnya. Soal-soal dalam tes ini berbentuk pernyataan yang pilihan jawabannya hanya dua macam, yakni “B” jika pernyataan tersebut benar dan “S” jika salah. Apabila soal-soalnya disusun dalam bentuk pertanyaan, biasanya alternatif jawaban yang harus dipilih adalah “ ya” atau “ tidak”.
Dalam dunia pendidikan modern, tes semacam itu sudah lama ditinggalkan karena dua alasan :
1.Tes “ B-S” tidak menghargai kreativitas akal siswa karena mereka hanya didorong untuk memilih sekenanya salah satu dari dua alternatif  yang ada.
2.Tes “B-S” dalam beberapa segi tertentu dianggap sangat rendah tingkat reliabilitasnya. Meskipun demikian, tes “ B-S “ ini juga memiliki manfaat yang tidak dapat diremehkan antara lain:
1.Tes “ B-S “ ini mendorong siswa /peserta didik untuk berpikir kritis dan berhati-hati dalam menjawab, karena biasanya poin nilai yang diberikan biasanya adalah satu yang berarti apabila salah memilih maka point nilainya akan hilang.
2.Tes “B-S “ ini memudahkan bagi pendidik /guru untuk memeriksa jawaban dengan cepat karena jawaban yang dirancang juga pasti.
3.Dalam merancang tes ini sebenarnya tidak mudah, seorang pendidik/guru harus benar benar memikirkan soal-soal yang sesuai dengan validitas dan reliabilitasnya.
3.Tes Pilihan Berganda
Item-item (butir-butir soal) dalam tes pilihan berganda (multiple choice) biasanya berupa pertanyaan atau pernyataan yang dapat dijawab dengan memilih salah satu dari empat atau lima alternatif jawaban yang mengiringi setiap soal. Cara yang sangat lazim dilakukan adalah dengan memberikan tanda silang(X) pada salah satu huruf, a, b,c,d atau e yang menandai alternatif jawaban yang benar.
Contoh :
Rukun Iman terdiri dari ……. Perkara :
a. dua          b. tiga.         c. empat          d. lima            e. enam
Pada zaman modern sekarang ini, dunia pendidikan khususnya di Barat sudah mulai meninggalkan tes pilihan  berganda kecuali untuk keperluan-keperluan di luar pengukuran prestasi belajar.  Alasan-alasan mereka meninggalkan jenis tes ini ialah :
1.Kurang mendorong kreativitas ranah cipta dan karsa siswa, karena mereka diminta berspekulasi yakni menebak dan menyilang secara untung-untungan.
2.Sering terdapat dua jawaban (di antara empat atau lima alternatif) yang identik atau sangat mirip, sehingga terkesan kurang diskriminatif.
3. Sering terdapat satu jawaban yang sangat mencolok kebenarannya, sehingga jawaban-jawaban lainnya terlalu gampang untuk ditinggalkan. Namun demikian, sampai batas tertentu tes pilihan berganda masih dipakai untuk mengevaluasi prestasi belajar siswa dengan catatan , penyusunannya dilakukan secara ekstra cermat. Dalam hal ini, guru seharusnya berusaha sebaik-baiknya untuk menghindari kelemahan kelemahan di atas.
4.Tes Pencocokan (Menjodohkan)
Tes pencocokan (matching test) disusun dalam dua daftar yang masing-masing memuat kata, istilah atau kalimat yang diletakkan bersebelahan. Tugas siswa dalam menjawab item item soal ialah mencari pasangan yang selaras antara kalimat atau istilah yang ada pada daftar A (berisi item-item yang ditandai dengan nomor urut
1 sampai 10 dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan) dengan daftar B terdiri atas item-item yang ditandai huruf a,b,c dan seterusnya. Untuk menjaga mutu reliabilitas dan validitasnya, salah satu daftar instrumen evaluasi di atas sebaiknya ditambah sekitar 10% sampai 20%.  Dengan demikian, kemungkinan siswa menebak semaunya pada saat mengerjakan satu atau dua soal yang terakhir dapat dihindari.  Agar lebih jelas, berikut ini penyusunannya disajikan dalam sebuah contoh :
Petunjuk :
“ Isilah titik-titik yang terdapat pada daftar A dengan menuliskan salah satu huruf dari daftar B yang cocok/benar. Nomor 1 yang sudah terisi adalah contoh cara mengerjakan soal selanjutnya.
No  Daftar A                                                                Daftar B
1  Al-Fatihah…..…                                                    a. Menyekutukan Allah
2  Al-Furqan………                                                   b. Beragama Yahudi atau Nasrani
3  Arafah………….                                                    c. Wajib dilaksanakan dibulan Ramadan
4  Ilmu Pengetahuan…..                                      d. Wajib ditunaikan bagi orang Muslim yang mampu
5  Kafir Kitabi……..                                                e. Beragama Hindu atau Budha
6  Murtad ………….                                                  f. Wajib dituntut oleh setiap Muslim
7  Musyrik………….                                                g.  Nama lain bulanRamadhan
8 Puasa………..                                                        h. Tempat wukuf jama’ahhaji
9 Syahadatain………                                             i. Bacaan wajib dalamsholat
10 Zakat………..                                                      j. Keluar dari Islam
4. Tes Isian
Alat tes isian biasanya berbentuk cerita atau karangan pendek, yang pada bagianbagian yang memuat istilah atau nama tertentu dikosongkan. Tugas siswadalam hal ini berpikir untuk menemukan kata-kata yang relevan dengan karangan tersebut. Lalu kata-kata itu dituliskan pada titik-titik atau ruang kosong yang terdapatpada badan karangan tadi. Untuk memperjelas uraian mengenai tes isian itu, selanjutnya disajikan contoh paling sederhana di bawah ini.
Contoh :
“ Isilah titik-titik di bawah ini dengan kata-kata yang benar!
Atas berkat rahmat……… Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan …………supaya berkehidupan kebangsaan yang…………..,maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini……………….”
5. Tes Melengkapi
Cara menyelesaikan tes melengkapi pada dasarnya sama dengan menyelesaikan tes isian. Perbedaannya terletak pada kalimat-kalimat yang digunakan sebagai instrumen. Dalam tes melengkapi, kalimat-kalimat itu tidak disusun dalam bentuk karangan atau cerita pendek tetapi dalam bentuk yang masing-masing berdiri sendiri.
Sebagai contoh, berikut ini disajikan salinan teks proklamasi dalam ejaan aslinya.
Petunjuk !
Isilah titik-titik yang ada pada setiap kalimat du bawah ini dengan kata-kata yang sesuai!”
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan…………… Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l…………. dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat singkatnja.…….., hari 17 boelan 8tahoen’45 Atas nama ………Indonesia…………/Hatta
b. Bentuk Subyektif
Alat evaluasi yang berbentuk tes subyektif adalah alat pengukur prestasi belajar yang jawabannya tidak dinilai dengan skor atau angka pasti, seperti yang digunakan untuk evaluasi obyektif. Hal ini disebabkan banyaknya ragam gaya jawaban yang diberikan oleh para siswa. Instrumen evaluasi mengambil bentuk essay examination, yakni soal ujian mengharuskan siswa menjawab setiap pertanyaan dengan cara menguraikan atau dalam bentuk karangan bebas. Banyak ahli menganggap evaluasi subyektif itu sukar sekali dipercaya reliabilitas dan validitasnya, karena subyektivitas guru penilainya lebih menonjol (Suryabrata, 1984 : 67). Contoh; sebuah esai jawaban yang hari ini diberi nilai 70, mungkin dua minggu yang akan datang, jika diperiksa lagi akan diberi nilai 60 atau 80. Namun demikian, menghindari pemakaian tes subyektif (essay test) hanya karena alasan subyektivitas guru adalah suatu tindakan yang berlawanan dengan perkembangan modrenisasi pendidikan. Tes esai ini lebih populer di manamana khususnya di negara-negara maju, mengingat keunggulannya yang sulit ditandingi terutama oleh instrumen tes B-S dan pilihan berganda yang sering mendorong siswa bermain tebak-tebakan atau “menghitung kancing” itu. Ada beberapa keunggulan tes esai yang secara implisit diakui juga oleh Suryabrata (1984 :68), yakni bahwa :
a. Tes esai tidak hanya mampu mengungkapkan materi hasil jawaban siswa tetapi juga cara atau jalan yang ditempuh untuk memperoleh jawaban itu.
b. Tes esai dapat mendorong siswa untuk berpikir kreatif, kritis, bebas, mandiri, tetapi tanpa melupakan tanggung jawab. Mengenai sikap subyektif guru penilai tidak perlu menjadi halangan penggunaan tes ini, sebab seperti objektivitas, subjektivitas juga ada batasnya. Persoalannya sekarang adalah bagaimana kita mencetak guru profesional dalam arti luas dan komprehensif termasuk dalam hal evaluasi prestasi belajar para siswanya.
D. SYARAT ALAT EVALUASI
Langkah pertama yang perlu ditempuh guru dalam menilai prestasi belajar siswa adalah menyusun alat evaluasi (test instrument) yang sesuai dengan kebutuhan dalam arti tidak menyimpang dari indikator dan jenis prestasi yang diharapkan. Persyaratan pokok penyusunan alat evaluasi yang baik dalam persfektif psikologi belajar (Thepsychology of learning) melihat dua macam, yakni : 1) reliabilitas; 2) validitas (Butler, 1990 :98). Persyaratan lainnya adalah objektif, diskriminatif dan sebagainya yang dikemukakan oleh kebanyakan penyusun buku psikologi pendidikan dan buku ilmu-lmu kependidikan pada umumnya. Reliabilitas secara sederhana berarti tahan uji atau dapat dipercaya. Sebuah alat evaluasi dipandang reliabel atau tahan uji, apabila memiliki konsistensi (ketetapan) dan keajegan hasil. Artinya apabila alat itu diujikan kepada kelompok siswa pada waktu tertentu menghasilkan prestasi “ X “, maka prestasi yang sama atau hampir sama dengan “ X “ itu dapat pula dicapai kelompok siswa tersebut setelah diuji ulang dengan alat yang sama pada waktu yang lain. Validitas pada prinsipnya berarti keabsahan atau kebenaran. Sebuah alat evaluasi dipandang valid (absah) apabila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Contohnya, apabila sebuah alat evaluasi bertujuan mengukur prestasi belajar matematika, maka item-item dalam alat itu hendaknya hanya direkayasa untuk mengukur kemampuan matematis para siswa. Kemampuan kemampuan lainnya yang tidak relevan, seperti kemampuan dalam bidang bahasa, IPS dan sebagainya tidak perlu diukur oleh instrumen evaluasi matematika tersebut.

BAB VII
EVALUASI PELBAGAI RANAH PSIKOLOGIS 
A.EVALUASI RANAH KOGNITIF
Mengukur keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis maupun tes lisan dan perbuatan. Karena semakin membengkaknya jumlah siswa disekolah-sekolah, tes lisan dan perbuatan saat ini semakin jarang digunakan. Alasan lain mengapa tes lisan khususnya kurang mendapat perhatian ialah karena pelaksanaannya yang face to face (berhadapan langsung). Cara ini, konon dapat mendorong penguji untuk bersikap kurang fair terhadap yang diuji. Dampak negatif yang terkadang muncul dalam tes yang face to face itu ialah sikap dan perlakuan penguji yang subjektif dan kurang adil, sehingga soal yang diajukan pun tingkat kesukarannya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di satu pihak ada siswa yang diberi soal yang mudah dan terarah (sesuai dengan topik) sedangkan di pihak lain ada pula siswa yang ditanyai masalah yang sukar bahkan terkadang tidak relevan dengan topik. Untuk mengatasi masalah subjektivitas itu, semua jenis tes tertulis baik yang berbentuk subjektif maupun yang berbentuk objektif (kecuali tes B-S) seharusnya dipakai sebaik-baiknya oleh para guru. Namun demikian, apabila anda menghendaki informasi yang lebih akurat mengenai kemampuan kognitif siswa, selain tes B-S, tes pilihan berganda juga sebaiknya tidak digunakan. Sebagai gantinya, anda sangat dianjurkan untuk menggunakan tes mencocokkan (matching test),tes isian dan tes esai. Khusus untuk mengukur kemampuan analisis dan sintesis siswa, lebih dianjurkan untuk menggunakan tes esai, karena tes ini adalah ragam instrumen evaluasi yang dipandang  paling tepat untuk mengevaluasi dua jenis kemampuan akal siswa tadi.
B.EVALUASI RANAH AFEKTIF
Dalam merencanakan penyusunan instrumen tes siswa yang termasuk dalam ranah afektif , jenis-jenis prestasi internalisasi dan karakterisasi seharusnya mendapat perhatian khusus. Karena kedua jenis prestasi ini yang lebih banyak mengendalikan sikap dan perbuatan siswa. Salah satu bentuk tes ranah afektif yang populer adalah “ Skala Likert” (Likert Scale) yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan/sikap orang (Reber, 1988: 76). Bentuk skala ini menampung pendapat yang mencerminkan sikap “ sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. ”Rentang skala ini diberi skor 1 sampai 5 atau 1 sampai 7 bergantung pada kebutuhan dengan catatan skor-skor itu dapat mencerminkan sikap-sikap mulai sangat “ya” sampai sangat “tidak”. Perlu pula dicatat, untuk memudahkan identifikasi jenis kecenderungan afektif siswa yang representatif , item-item skala sikap sebaiknya dilengkapi dengan label/identitas sikap yang meliputi : 1) doktrin, yakni pendirian; 2) komitmen,yakni ikrar setia untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan; 3) penghayatan,yakni pengalaman batin; 4) wawasan, yakni pandangan atau cara memandang sesuatu. Dibawah ini disajikan sebuah contoh sikap penyalahgunaan narkotik dan obat-obat terlarang (narkoba) seperti dalam tabel di bawah ini :

Sikap Siswa Terhadap Penyalahgunaan Narkoba


Pernyataan
Skala sikap
Sangat  tidak  setuju
Sangat   setuju
1.Penyalahgunaan narkoba  apapun
   alasannya takdapat 
   dibenarkan/haram (D)
1
2
3
4
5
2.Penyalahgunaan narkoba tidak
   hanya merusak jasmani saja
   tetapi  juga merusak  rohani (P)

1
2
3
4
5
3. Menghindari penyalahgunaan
    narkoba itu hukumnya wajib (K)

1
2
3
4
5
4. Masyarakat membenci
    Penyalahgunaan narkoba (W)
1
2
3
4
5

Catatan :
(D)= Doktrin
(K)= Komitmen
(P) = Penghayatan
(W) = Wawasan

Cara lain menyusun instrumen skala sikap siswa dapat juga ditempuh dengan menggunakan skala ciptaan C.Osgood yang disebut semanticdifferential (Tardif, 1989: 55) seperti contoh dibawah ini :

Buruk                                Menjenguk teman yang sedang sakit tanpa disuruh
                      Baik                
                                                       *           *           *           *         *            *               *
   *                     *                           1            2           3          4          5             6                7
Selanjutnya, tugas siswa yang sedang dievaluasi (testee) adalah memilih alternatif sikap yang sesuai dengan keadaan dirinya sendiri. Kemudian, sikap itu dinyatakan dengan cara memberi tanda cek (ü) pada ruang bernomor yang sesuai dengan kecenderungan sikapnya. Cara penyelesaian evaluasi sikap dengan membubuhkan tanda cek seperti itu berlaku baikuntuk skala likert maupun skala diferensial semantik. Hal lain yang perlu diingat seorang guru yang hendak menggunakan skala sikap ialah bahwa dalam evaluasi ranah afektif yang dicari bukan benar dan salah, melainkan sikap atau kecenderungan setuju atau tidak setuju. Jadi, tidak sama dengan evaluasi ranah kognitif yang secara prinsipil bertujuan mengungkapkan kemampuan akal dengan batasan salah dan benar.
Bagaimana cara mengetahui hasil prestasi ranah afektif yang diukur dengan skala-skala sikap diatas? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka seorang guru dianjurkan untuk mempelajari buku-buku khusus mengenai statistik pendidikan. Dari buku ini dapat diketahui cara mengolah, menganalisis dan menafsirkan serta menyimpulkan data hasil evaluasi ranah afektif seorang siswa.
C. EVALUASI RANAH PSIKOMOTOR
Cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi ranah psikomotor adalah melalui observasi. Observasi, dalam hal ini dapat diartikan sebagai tes yang menjelaskan peristiwa, tingkah laku atau fenomena lain dengan pengamatan langsung. Namun observasi harus dibedakan dari eksperimen karena eksperimen pada umumnya dipandang sebagai salah satu cara observasi. (Reber, 1988 : 43). Seorang guru yang hendak melakukanobservasi perilaku psikomotor siswa-siswanya seharusnya mempersiapkan langkah-langkah yang cermat dan sistematis menurut pedoman yang terdapat dalam lembar format observasi yang sebelumnya telah disediakan baik oleh sekolah maupun oleh guru sendiri. Contoh evaluasi kecakapan ranah psikomotor siswa dalam melaksanakan ibadah sholat. Penilaian atas kecakapan melaksanakan ibadah sholat itu didasarkan pada ada atau tidak adanya kegiatan yang tercantum di dalam format observasi. Titik-titik pada kolom “ Ya” dan kolom “Tidak” hendaknya diisi oleh guru dengan cara membubuhkan tanda cek (ü) sesuai dengan kenyataan. Penulisan nama atau nomor induk siswa dapat dilakukan pada bagian sudut atas lembar observasi, jika kegiatan tes dilakukan secara individual.  Jika tes dilakukan secara berkelompok, penulisan kata ”perempuan “ dan “ laki-laki” (sebagai kelompok jenis kelamin terpisah) dapat juga dilakukan sebagai salah satu alternatif. Selain itu, jika
tes diberlakukan kepada sekelompok siswa dari kelaskelas yang berbeda (tetapi masih setara) umpamanya kelas II/A dan kelas II/B, maka identitas kelas perlu ditulis dengan jelas misalnya pada sudut kanan atas format observasi tersebut. Selanjutnya apabila guru menghendaki penilaian dengan menggunakan norma skala angka, kolom “ya” dan “tidak” dapat dihapus dan diganti dengan skor-skor, misalnya mulai 5 sampai 10. Siswa
yang mendapat skor 5 ke bawah dianggap tidak memenuhi kriteria keberhasilan belajar. Di bawah ini contoh format observasi kecakapan beribadah Sholat :

No

Jenis-jenis kegiatan Pelaksanaan kegiatan

Ya

tidak
1.
 Takbiratul ihram ( membaca takbir dan mengangkat kedua  
 belah tangan )

………

………
2.
Berdiri (cara berdiri dan meletakkan kedua belah tangan)
……….
……….
3.
Ruku’ dan I’tidal (termasuk proses dan caranya)
………
………
4.
Sujud dan duduk antara dua sujud
………
………
5.
Duduk tasyahhud awal
………
………
6.
Duduk tasyahhud akhir
……….
………
7
Ucapan dua salam dan gerakannya
………..
……….
                                     


BAB VIII
PRESTASI BELAJAR

A. INDIKATOR PRESTASI BELAJAR
Pada prinsipnya, pengungkapan hasil belajarideal meliputi segenap ranah psikologis yang berubahsebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa.  Namun demikian, pengungkapan perubahan tingkahlaku seluruh ranah itu khususnya ranah afektif siswa sangat sulit.  Hal ini disebabkan perubahan hasil belajar itu ada yang bersifat intangible (tidak dapat diraba). Oleh karena itu yang dapat dilakukan gurud alam hal ini adalah hanya mengambil cuplikan perubahan tingkah laku yang dianggap penting dan diharapkan dapat mencerminkan perubahan yangterjadi sebagai hasil belajar siswa, baik yang berdimensi kognitif, afektif maupun psikomotor. Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa sebagaimana yang terurai diatas adalah mengetahui garis-garis besar indicator (penunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau diukur.  Selanjutnya agar pemahaman dapat lebih mendalam mengenai kunci pokok tadi maka untuk memudahkan alat dan kiat evaluasi yang dipandang tepat, reliabel dan valid di bawah ini disajikan table yang berkenaan dengan ketiga ranah psikologis (Suryabrata, 1982 : 102) :
Tabel Jenis, Indikator dan Cara Evaluasi Prestasi
Ranah /Jenis Prestasi
Indikator
Cara evaluasi
A. Ranah Kognitif (cipta)



1. Pengamatan
1.Dapat menunjukkan
2.Dapatmembandingkan
3.Dapatmenghubungkan
1. Tes lisan
2. Tes tertulis
3. Observasi
2. Ingatan
1. Dapat menyebutkan
2.Dapatmenunjukkan kembali
1. Tes lisan
2. Tes tertulis
3. Observasi
3. Pemahaman
1. Dapat menjelaskan
2.Dapat mendefinisikan dengan  
    lisan sendiri
1. Tes lisan
2. Tes tertulis
4. Aplikasi /Penerapan
1. Dapat memberikan contoh
2.Dapat menggunakan secara
    tepat
1. Tes tertulis
2. Pemberian tugas
3. Observasi
5. Analisis (pemeriksaan
   Dan pemilahan secara 
    teliti
1. Dapat menguraikan
2.Dapat mengklasifikasikan   
    atau memilah milah
1. Tes tertulis
2. Pemberian tugas
6. Sintesis (membuat panduan baru dan utuh)

1. Dapat menghubungkan materi-
    materi, sehingga menjadi  
    kesatuan baru
2. Dapat menyimpulkan
3.Dapat menggeneralisasikan    
   (membuat prinsip umum)

1. Tes tertulis
2. Pemberian tugas

B. Ranah Rasa
(Afektif)



1. Penerimaan
1. Menunjukkan sikap menerima
2. Menunjukkan sikap
     menolak
1. Tes tertulis;
2. Tes skala sikap;
3. Observasi
2. Sambutan

1. Kesediaan berpartisipasi  
    atau terlibat
2. Kesediaan memanfaatkan
1. Tes skalasikap;
2. Pemberiantugas;
3. Observasi
3. Apresiasi (sikapmenghargai)

1. Menganggap penting dan  
    bermanfaat
2. Menganggap pentingdan  
    harmonis
3. Mengagumi
1. Tes skalasikap;
2. Pemberiantugas;
3. Observasi

4.Internalisasi(pendalaman)

1. Mengakui dan  meyakini
2. Mengingkari

1. Tes skalasikap;
2. Pemberian tugas  Ekspresif 
(yang menyatakan sikap) dan tugas proyektif (yang menyatakan perkiraan atau ramalan)
5. Karakterisasi 
   (Penghayatan)

1.Melembagakan ataumeniadakan;
2.Menjelmakan dalam pribadi dan
    prilaku sehari-hari.
1.Pemberian tugas 
  ekspresifdan proyektif
2. Observasi
C. Ranah karsa
(Psikomotor)



1. Keterampilan bergerak
dan bertindak

Kecakapan mengkoordinasikan gerak mata, tangan,kaki dan anggota tubuh lainnya.

1. Observasi
2. Tes tindakan
2. Kecakapan ekspresi verbal dan non verbal

1. Kefasihan melafalkan
atau mengucapkan;
2. Kecakapan membuat
mimik dan gerakan
jasmani

1. Tes lisan;
2. Observasi:
3. Tes tindakan
B. PENDEKATAN EVALUASI PRESTASI BELAJAR
Ada dua macam pendekatan yang amat popular dalam mengevaluasi atau menilai tingkat keberhasilan prestasi belajar yaitu (Tardif, 1989 : 131):
1.Norm – referencing atau Norm ReferncedAssesment;
2.Criterion-referencing atau Criterian- Referencedassesment
Di Indonesia pendekatan-pendekatan ini lazim disebut Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Kriteria (PAK).
1. Penilaian Acuan Norma (Norm-ReferencedAssesment)
Dalam penilaian yang menggunakan pendekatan PAN (Penilaian Acuan Norma), prestasi belajar seorang peserta didik diukur dengan membandingkannya dengan prestasi yang dicapai teman-teman sekelasnya atau sekelompoknya.
(Tardif, 1989 : 227). Jadi, pemberian skor atau nilai peserta didik tersebut merujuk pada hasil perbandingan antara skor-skor yang diperoleh temanteman
sekelompoknya dengan skornya sendiri (Nasution, 1996 : 195). Sebagai contoh, sekelompok SLTP terdiri dari 10 orang dan memperoleh skor hasil evaluasi formatif Pendidikan Agama Islam (PAI) masing-masing : 50, 45, 45, 40, 40, 40, 35, 35, 30, 25
Skor-skor di atas, mula-mula dipandang sebagai nilai mentah, lalu dikonversikan/diubah ke dalam nilai-nilai dengan rentangan 1 sampai 10 atau 10-100. Hasilnya, karena skor di atas yang tertinggi adalah 50, maka siswa yang mendapat skor tersebut berarti meraih nilai 10 atau 100, sedang siswa yang mendapat skor rendah (25) berarti memperoleh nilai 5 atau 50. Secara professional skor-skor di atas setara dengan nilai 10, 9, 9, 8, 8, 8, 7, 7, 6 dan 5 atau 100, 90 dan seterusnya kebawah.    Selain itu , pendekatan PAN juga diimplimentasikan dengan cara menghitung dan membandingkan persentase jawaban benar yang dihasilkan seorang siswa dengan persentase jawaban benar yang dihasilkan kawan-kawan sekelompoknya. Kemudian, persentase jawaban jawaban benar masing-masing siswa tersebut dikonversikan ke dalam nilai 1-10 atau 10-100. contoh, apabila soal evaluasi sumatif matematika untuk siswa kelas 3 Madrasah Tsanawiyah terdiri dari 60 butir dan persentase jawaban benar tertinggi adalah 83,3% misalnya, maka persentase ini dianggap bernilai 10 atau 100. Nilai ini muncul berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus sederhana, yakni :
Jumlah Jawaban benar       x  100
     Jumlah butir soal
Yang dalam hal ini :  50 (jawaban benar) x 100 = 83,360 (butir soal)
Selanjutnya , untuk persentase jawaban benar 75% dikonversikan ke dalam nilai 9 atau 90 dengan perhitungan  :             10 83,3% 75% x = 9 atau 90
Dengan demikian, untuk persentase-persentase jawaban benar lainnya seperti 60%, 50% dan seterusnya dikonversikan ke dalam nilai-nilai yangrelevan berdasarkan perhitungan di atas.
2. Penilaian Acuan Kriteria (Criterion-Referenced
Assesment)Penilaian dengan pendekatan PAK (PenilaianAcuan Kriteria) menurut Tardif (1989 : 95) merupakan proses pengukuran prestasi belajar dengan cara membandingkan pencapaian seorang siswa dengan berbagai perilaku ranah yang telah ditetapkan secara baik (well difined domain behaviour) sebagai patokan absolut. Oleh karena itu, dalam mengimplementasikan pendekatan Penilaian Acuan Kriteria diperlukan adanya kriteria mutlak yang merujuk pada tujuan pembelajaran umum dan khusus (TPU dan TPK). Artinya, nilai atau kelulusan seseorang siswa bukan berdasarkan perbandingan dengan nilai yang dicapai oleh teman-teman sekelompoknya melainkan ditenukan oleh penguasaannya atas materi pelajaran hingga batas yang sesuai dengan tujuan instruksional. Pendekatan penilaian seperti di atas biasanya diterapkan dalam sistem belajar tuntas (masterylearning).  Dalam sistem belajar tuntas, seorang siswa baru dapat dinyatakan lulus dalam evaluasi suatu mata pelajaran apabila ia telah menguasai seluruh materi secara merata dan mendalam dengan nilai minimal 80 (Pressley &McCormick, 1995 : 580).  Sebagai contoh, apabila pelajaran agama di kelas I SLTP misalnya harus dikuasai secara tuntas antara lain siswa harus terampil mempraktekkan sholat lengkap dengan penguasaan atas arti bacaan dan do’anya, lalu penguasaannya ditentukan minimal 80%, maka nilai kelulusan pelajaran tersebut harus bergerak dari 80 sampai 100. oleh karena itu, seorang siswa yang telah mencapai nilai 75 sekalipun, belum dapat dinyatakan lulus/berhasil meskipun nilai ini tertinggi  di antara nilai teman-temannya yang rata rata mungkin hanya 70 atau kurang.
C. BATAS MINIMAL PRESTASI BELAJAR
Setelah mengetahui indikator dan memperoleh skor hasil evaluasi prestasi belajar, seorang guru perlu mengetahui bagaimana kiat menetapkan batas minimal keberhasilan belajar para siswanya. Hal ini penting karena mempertimbangkan batas terendah prestasi siswa yang dianggap berhasil dalam arti luas bukanlah perkara yang mudah. Keberhasilan dalam arti luas berarti keberhasilan yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor.  Ranah-ranah psikologis, walaupun berkaitan satu sama lain, kenyataannya sukar diungkap sekaligus jika hanya melihat perubahan yang terjadi pada salah satu ranah.   Contoh:  seorang siswa yang memiliki nilai tinggi dalam bidang studi agama Islam misalnya, belum tentu rajin beribadah sholat. Sebaliknya, siswa lain yang mendapat nilai cukup dalam bidang studi tersebut, justru menunjukkan perilaku yang baik dalam kehidupan beragama sehari hari.  Jadi, nilai hasil evaluasi sumatif atau ulangan“X” dalam raport, misalnya, mungkin secara efektif dan psikomotor menjadi “X-“ atau “ X+”.   Inilah tantangan berat yang harus dihadapi oleh para guru sepanjang masa. Untuk menjawab tantangan ini guru seharusnya tidak hanya terikat oleh kiat penilaian yang bersifat kognitif, tetapi juga memperhatikan kiat penilaian yang bersifat afektif dan psikomotor siswa.  Menetapkan batas minimum keberhasilan belajar siswa selalu berkaitan dengan upaya pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa alternative norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar. Diantara norma-norma pengukuran tersebut adalah :
1.Norma skala angka dari 0 sampai 10
2.Norma skala angka dari 0 sampai 100
Angka terendah yang menyatakan kelulusan atau keberhasilan belajar (passing grade) skala 0-10 adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. Pada prinsipnya jika seorang siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh tugas atau dapat menjawab lebih dari instrumen evaluasi dengan benar, ia dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar. Namun demikian, kiranya perlu dilakukan pertimbangkan oleh para guru sekolah penetapan passing grade yang lebih tinggi (misalya 65 atau 70) untuk pelajaran-pelajaran inti (coresubject).  Pelajaran-pelajaran inti ini meliputi, antaral ain : bahasa dan matematika, karena kedua bidang studi ini (tanpa bermaksud mengurangi pentingnya bidang studi lain) merupakan “kunci pintu ”pengetahuan-pengetahuan lainnya. Pengkhususan passing grade seperti ini sudah berlaku umum dibanyak negara maju dan telah mendorong peningkatan kemajuan belajar siswa dalam bidang bidang studi lainnya.  Selanjutnya, selain norma-norma tersebut di atas ada pula norma lain yang berlaku di perguruan tinggi yaitu norma prestasi belajar dengan menggunakan simbol huruf-huruf A, B, C, D dan E. Simbol huruf-huruf ini dapat dianggap sebagai terjemahan dari symbol symbol angka sebagaimana dijelaskan dalam tabel dibawah ini :
Perbandingan Nilai Angka, Huruf dan Predikatnya Simbol-simbol Nilai Huruf Predikat  8 - 10             80 – 100            A             3,1 – 4                A                  Sangat Baik
7 - 7,9                   70 – 79                B            2,1 -  3                 B                  Baik
6 – 6,9                 60 – 69                C            1,1 -   2                C                  Cukup
5 – 5,9                  50 – 59                D            1                          D                 Kurang
0 – 4,9                  0 – 49                 E            0                          E                  Gagal
 Perlu ditambahkan bahwa simbol nilai angka yang berskala antara 0 sampai 4 seperti yang tampak pada tabel di atas lazim dipergunakan di perguruan tinggi.  Skala angka yang berinterval jauh lebih pendek daripada skala angka lainnya dipakai untuk menetapkan indeks prestasi (IP) mahasiswa, baikpada setiap semester maupun pada akhir penyelesaian studi.  Hal lain yang lebih penting dalam proses evaluasi prestasi bukan norma mana yang harus diambil, melainkan sejauh mana norma itu dipakai secara lugas untuk mengevaluasi seluruh kecakapan siswa yaitu kognitif, afektif dan psikomotor)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar