Selasa, 18 Januari 2011

PERTAHANAN SEMESTA

PERTAHANAN SEMESTA

Tantangan terbesar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki wilayah negara sangat luas dan terdiri dari ribuanadalah dalam hal merumuskan sistem pertahanan yang komprehensif dan memadai untuk perlindungan kedaulatan, wilayah dan warga negara dari berbagai bentuk ancaman. Salah satu sistem yang terus dikembangkan dan menjadi bagian dari konsep pertahanan yang selama ini berlaku adalah sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata)–yang dalam UU Pertahanan Negara disebut sistem pertahanan semesta (sishanta).
Konsep ini mendapat kritik keras di masa pemerintahan Orde Baru yang dianggap menjadi dasar mobilisasi masyarakat untuk kepentingan kekuasaan Soeharto, menciptakan sekelompok ‘milisi’ sipil yang seolah-olah memiliki otoritas seperti aktor keamanan, dan cenderung berorientasi pada keamanan internal. Sejarah pembentukan sistem keamanan yang melibatkan elemen rakyat sebagai system cadangan kekuatan pertahanan di Indoensia ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan angkatan bersenjata sejak jaman kemerdekaan Indonesia. Elemen rakyat sebagai sistem pendukung mempunyai kedudukan yang tak kalah pentingnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Seiring dengan perubahan ancaman dan sistem pemerintahan, maka pertanyaan tentang relevansi dari wacana sishankamrata kembali mengemuka.
Wacana Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN) juga kembali muncul terkait rencana pemerintah untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (RUU KCPN) yang telah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2008. Pro dan kontra pun mengiringya. Para petinggi TNI cenderung pro pemerintah, sementara parlemen dan masyarakat sipil cenderung kontra pemerintah.
Kekhawatiran masyarakat sipil terutama terkait relevansi KCPN sebagai prioritas dan solusi mengatasi segala bentuk ancaman terhadap negara mengingat saat ini dan mungkin di masa depan bentuk ancaman bagi negara Indonesia cenderung berupa ancaman non militer. Potensi penyalahgunaan komponen cadangan tampaknya juga perlu dijawab. Sementara agenda penguatan komponen utama belum selesai, maka agenda pembentukan komponen cadangan menjadi sangat terburu-buru untuk diajukan.

PERJALANAN SISHANKAMRATA SEJAK AWAL KEMERDEKAAN RI

Upaya bangsa Indonesia menyelenggarakan system pertahanan dimulai sejak masa perang kemerdekaan, dengan tujuan untuk menghadapi agresi militer Belanda dan sejumlah pemberontakan paska proklamasi kemerdekaan. Sebagai negara ‘darurat’ yang baru merdeka, sistem penyelenggaraan negara yang berlaku—termasuk sistem pertahanan—masih belum mencermikan satu sistem yang ideal.
Sejarah pembentukan sistem keamanan yang melibatkan elemen rakyat sebagai system cadangan kekuatan pertahanan di Indoensia ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan angkatan bersenjata sejak jaman kemerdekaan Indonesia. Elemen rakyat sebagai system pendukung mempunyai kedudukan yang tak kalah pentingnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu.

Masa Awal Kemerdekaan (1945-1949)
Pada masa ini mulai dibentuk angkatan perang yang diawali dengan pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) sebagai badan penolong korban perang yang dibentuk oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 22 Agustus 1945. Pada 3 Oktober 1945 BKR dibubarkan, kemudian dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan tonggak pembentukan organisasi yang dibawah Kementerian Keamanan Rakyat. TKR kemudian berubah nama menjadi Tentara Keselamatan
Rakyat, berada di bawah kementerian Pertahanan. Satu bulan kemudian, nama tersebut diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan menegaskan bahwa TRI bersifat kebangsaan (nasional) dan merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia. TRI kemudian diubah lagi oleh Presiden Soekarno menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besarnya. Pembentukan BKR hingga kelahiran TNI tersebut  terdiri dari tiga unsur utama, yaitu:
(1), terdiri dari sisasisa mantan anggota KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda);
(2) para pemuda yang tergabung dalam Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), Heiho serta Giyugun yang
merupakan bagian dari kekuatan darat; dan
 (3) lascar rakyat yang dibentuk oleh para pemuda yang tersebar di wilayah Indonesia.
Komponen pertahanan yang dibentuk pertama kali pada masa-masa tersebut memang merefleksikan system pertahanan sipil, dimana komponen rakyat yang terdiri dari kelaskaran, pasukan gerilya desa (pager desa), pelajar, Organisasi Keamanan Desa (OKD), Organisasi Keamanan Rakyat (OKR) dan Pertahanan Sipil menjadi bagian integral dari kekuatan komponen utama pertahanan. Berbagai komponen pertahanan rakyat ini menjadi lapis operasional pendukung kekuatan utama. Eksistensi laskar-laskar ini mendapat pengakuan Menteri Pertahanan sebagai bentuk kekuatan perlawanan yang sah untuk menghadapi agresi Belanda paska kekalahan tentara Jepang menjelang akhir Perang Dunia ke II. Milisi sipil ini bersama tentara reguler tergerak dengan semangat yang sama menghadapi tentara kolonial Belanda yang memiliki kekuatan tempur standar yang jauh di atas militer Indonesia.
Keberadaan mereka semakin diakui melalui Maklumat Dewan Pertahanan Negara No 19 1946 yang menyatukan tentara regular dengan berbagai bentuk kelaskaran. Badan kelaskaran masuk dalam “barisan-barisan” sebagai komponen cadangan yang melakukan tugas-tugas militer dan juga perbantuan dalam keamanan, sosial dan membantu pemerintah dalam pembangunan dan pertahanan.
Peran “barisan” ini cukup besar karena sebagai penyedia logistik pasukan reguler saat itu. Pada masa ini tidak ada istilah wajib militer.

Masa Demokrasi Liberal (1950-1959) Sebagai Negara yang menganut demokrasi liberal kala itu, Indonesia juga mengadopsi kebijakan dalam menerima anggota angkatan perang sukarela. Undang-Undang No 19 Tahun 1958 telah mengatur kedudukan warga negara sebagai anggota militer sukarela, yaitu tentara reguler yang secara sukarela bergabung dalam angkatan bersenjata. Pasal 5 UU No 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara juga telah mengamanatkan agar rakyat terlatih untuk menjalankan perlawanan, oleh karena itu kemudian diberlakukanlah wajib latih bagi rakyat usia 18 hingga 40 tahun. untuk mempersiapkan perlawanan rakyat aktif dan cadangan umum yang teratur dan terlatih untuk Angkatan Darat. Pada tahun 1958 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No 66 Tentang Aturan UU Wajib Militer yang berisi syarat, tata cara dan rekrutmen warga Negara dalam dinas kemiliteran. Pada tahun 1960 peraturan tersebut kemudian diganti dengan UU No. 40. Panya kenyataannya implementasi UU ini hampir tidak ada. Demokrasi Terpimpin (1959-1966) Dalam proses pembebasan Irian Barat, presiden Soekarno membentuk Organisasi Petahanan Sipil (Hansip) yang memiliki fungsi utama sebagai perlawanan rakyat (wanra) dan perlindungan masyarakat (linmas). Dalam rangka mobilisasi umum sebagai salah satu amanat dati Trikora, pemerintah membuat peraturan tentang keterlibatan aktif rakyat secara dalam pertahanan negara dalam untuk membantu kesatuan-kesatuan angkatan bersenjata dan sebagai pertahanan keamanan Negara. Rakyat yang terlibat dalam sukarelawan aktif itu kemudian disebut
sebagai sukarelawan pembebasan Irian Barat dan berada dalam kendali Komando Mandala, dan mempunyai kedudukan hukum yang diatur dalam Undang-Undang serta mempunyai hak jika gugur dalam tugasnya. Dalam masa demokrasi terpimpin ini kebijakan wajib militer juga masih dilanjutkan bahkan diperluas sampai menjangkau tingkat perguruan tinggi, dan dibentuk pula organisasi Resimen Mahasiswa (Menwa) yang harus menjalani wajib latih bela negara.

Masa Orde Baru (1967-1998)
Dalam masa pemerintahan Soeharto, kebijakan wajib militer tetap dijalankan, keberadaan Menwa diperkuat, sedangkan Organisasi Hansip diubah menjadi Organisasi
Perlawanan dan Keamanan Rakyat (Wankamra). Akan tetapi, kebijakan komponen cadangan masih belum jelas karena tidak terdapat penjelasan mengenai kedudukan dari para personilnya dalam hal ini para Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai cadangan nasional, yaitu apakah mereka sebagai bagian dari cadangan angkatan bersenjata atau menjadi komponen cadangan pendukung.
Perubahan fundamental terhadap pertahanan Negara kemudian dilakukan pada 1982 dengan menyempurnakan sistem pertahananan nasional, yaitu menjadi Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Konsep ini menempatkan pasukan yang bersifat permanen di daerah-daerah melalui pembentukan komando daerah militer yang pembinaannya dilakukan oleh Angkatan Darat, yang terdiri atas Rakyat Terlatih sebagai komponen dasar; Angkatan Bersenjata beserta Cadangan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama; Perlindungan Masyarakat sebagai komponen khusus; dan Sumber daya alam, sumber daya buatan dan prasarana nasional sebagai komponen pendukung.

Masa Reformasi (1998)
Habibie yang menjabat pada masa ini masih melanjutkan beberapa terdahulu. Salah satunya adalah tentang komponen dasar yaitu Rakyat Terlatih (ratih) yang mempunyai beberapa fungsi diantaranya Fungsi Ketertiban Umum (Tibum), Fungsi Perlindungan Rakyat (Linra), Fungsi Keamanan Rakyat (Kamra), dan Fungsi Perlawanan Rakyat (Wanra). Fungsi Tibum, Linra dan Kamra merupakan fungsi Ratih dalam masa damai, sedangkan fungsi Wanra menjadikan Ratih sebagai kombatan dalam Hukum Humaniter Internasional.(RST)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar